Selamat Ulang Tahun Kabupaten Karimun Ke- 13, Semoga Karimun Maju di Segala Bidang Sesuai dengan Azam Kabupaten Karimun

Selasa, 16 Oktober 2012

Harga Diri (Laskar Anak Pulau)




Seusai petang, kelam menjelang di Pulau Ketam. Orang-orang tenggelam di peraduan. Di ujung pelantar, Atan termangu sendirian. Wajahnya muram. Sayup-sayup terdengar Mak Joyah berdendang. Alunan suaranya membelah kelam, mengiringi riak dan gelombang.
Tiba-tiba Atan berdiri. Ia berteriak keras, seakan melepas kegalauan hatinya. “Tiddaaakkk!! Kelak akan saye buktikan pada kalian, saye akan buktikan,” pekiknya lantang.

Tidak ada jawaban memang. Hanya desiran angin dan kecipak ombak menjilati tiang-tiang pelantar. Atan menangis tersedu-sedu. Airmatanya jatuh ke laut yang bergelombang, siap menghempaskan mimpi-mimpinya.
Puas melampiaskan kegundahan hatinya, Atan melangkah pulang. Mak Joyah masih asyik berdendang. Tidak ada yang mempedulikannya. Saat melewati rumah Mak Joyah, Atan singgah sebentar. Setelah menikmati beberapa lagu, ia pamit dan mencium tangan perempuan tua itu.
Atan melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Begitu sampai, Atan langsung merebahkan badan di sudut dapur, tempat ia biasa tidur. Tidak ada kamar khusus baginya. Rumah kayu beratap daun itu hanya memiliki satu kamar. Itupun ditempati bertiga oleh mak, bapak dan Atin, adiknya.

Mata Atan menerawang memandangi langit-langit dapur yang hanya diterangi pelita, lampu minyak tanah saja. Belum sempat memejamkan mata, Mak Munah keluar dari kamar menghampiri Atan. Tangannya menenteng kantong plastik berisi uang yang diberikan teman-teman Atan tadi sore. “Tan, tadi sore teman-teman engkau datang. Mereka menitipkan ini,” ujarnya.
Atan segera duduk dan membuka kantong plastik yang diberikan maknya. Adiknya menghampiri, ingin tahu isi dalam kantong plastik itu. Setelah kantong plastik terbuka, keduanya terperanjat. “Masya Allah, duit mak. Mak, Bang Atan dapat duit banyak,” teriak Atin.
Bapak Atan yang sedang terbaring di kamar, mendengar anaknya menerima duit pemberian teman-temannya. Sambil terbatuk-batuk, ia memanggil anak sulungnya itu. “Atan, Atan sinilah sekejap,” teriak Pak Jali dari dalam kamar.
Atan langsung menghampiri ke kamar, diikuti Mak Munah dan adiknya, Atin. Bocah itu duduk di samping tempat tidur sambil memijit-mijit kaki bapaknya.
Semua terdiam. Pak Jali menatap mata anaknya dengan tajam. Tak lama baru ia berbicara. “Atan, kite ini memang miskin. Tapi, pantang bagi kite untuk jadi pengemis. Marwah kite jauh lebih berharga dari duit itu nak,” tegasnya.
Atan hanya tertunduk, tak berani menatap bapaknya. “Tapi Atan tidak ade meminta minta pak. Teman teman itu saje yang mau membantu Atan,” kilahnya.
Mak Munah berusaha menengahi. Ia merasa sayang jika duit sumbangan itu dikembalikan lagi.
“Iye pak. Tadi sore teman-teman Atan datang. Mereka meyerahkan duit sumbangan untuk membantu melunasi uang buku dan uang baju. Saat mereka ke sini Atan juge tak ade di rumah. Mereka ikhlas membantu Atan kok pak,” ujarnya membela.
Tapi Bapak Atan tidak percaya begitu saja. “Ah tidak mungkin. Mane ade orang zaman sekarang yang membantu begitu saje. Mustahil itu. Kalau tidak ade berade, mane mungkin tempua bersarang rendah. Ya sudah, cepat engkau balekkan duit tu lagi,” perintahnya kepada anaknya.
Atan segera mengangguk mengikuti perintah bapaknya. “Iye pak. Besok Atan balekkan duit tu ke sekolah. Atan nak tidur dulu, mengantuk pak,” tukasnya sambil berlalu ke luar kamar.
Namun Mak Munah masih membuntuti Atan hingga ke luar kamar. Sebelum tidur ia ingin Atan pergi menyondong udang sebentar untuk makan besok pagi. “Eh Tan, engkau jangan tidur dulu. Engkau pergi la menyondong udang sebentar buat makan kite besok. Mak tak ade duit lagi nih,” pintanya kepada Atan.
Dengan enggan, Atan mengambil jaring yang biasa diletakkan di balik dapur. Setelah berpamitan dan mencium tangan maknya, Atan melangkah ke luar. Sesampainya di depan rumah, Atin berteriak dari balik pintu. “Bang Atan, hati-hati ye. Jangan lupe baca bismillah. Semoge Abang dapat udang yang banyak,” ujarnya polos.
Atan langsung berbalik dan menghampiri adiknya. “Oh ya, Abang lupe, terime kasih ye. Abang pergi dulu. Atin sekarang tidur ye. Assalamualaikum,” pamit Atan kepada adiknya.
Setelah Atan pergi, Mak Munah dan suaminya bercakap-cakap di dalam kamar. Bapak Atan terbatuk-batuk. Nafasnya semakin sesak. Mak Munah mulai khawatir melihat kondisi Pak Jali yang semakin parah.
“Itulah pak. Semestinya bapak tak usah ke laut dulu. Nanti sakit bapak semakin parah,” nasihat Mak Munah kepada suaminya.
Bapak Atan kembali terbatuk-batuk. Ia merintih menahan sakit di dadanya. “Ye mak. Untuk sementara biarlah Atan yang ke laut. Tak usah la budak tu ke sekolah,” rintihnya.
Mak Munah hanya menghela nafas panjang sambil mengurut dada suaminya. Ia tidak dapat mencegah, karena keinginan Atan untuk bersekolah sangat besar.
“Pak, saye sudah larang budak tu ke sekolah. Tapi Atan tu degil, tak dapat dilarang. Tadi siang ia pergi juge sekolah. Entah ape la yang dicarinya di sekolah tu,” keluh perempuan itu.

Sementara itu, di saat orang-orang terlelap di peraduan, Atan bertungkus lumus di antara riak dan gelombang. Dalam remang malam, bocah itu menggigil. Tubuhnya berendam sebatas dada, menyisir bibir pantai.
Menjelang dinihari, Atan melangkah pulang. Sambil terkantuk-kantuk, bocah itu menenteng sekeranjang udang. Ingin segera ia merebahkan badannya. Tak sabar ia mengetuk pintu rumahnya.
Namun Mak Munah terlebih dahulu membukakan pintu. Rupanya ia sudah menunggu kedatangan Atan. Buru-buru ia bertanya. “Macam mane Tan. Banyak engkau dapat udang? ujarnya sembari meraih keranjang udang dari tangan Atan.
Melihat keranjang Atan penuh dengan udang, Wajah Mak Munah sedikit ceria. “Amboi, udangnye cukup tujuh kilo ni Tan. Besok pagi Mak antar ke toke Aleng ye. Lumayan duitnye buat berobat bapak engkau,” ungkapnya. Karena mengantuk, Atan tak lagi mempedulikan ucapan Maknya. Ia segera berbaring di sudut dapur. Wajahnya terlihat lelah. Mungkin bocah itu tak sempat lagi bermimpi. 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.