Seusai
petang, kelam menjelang di Pulau Ketam. Orang-orang tenggelam di peraduan. Di
ujung pelantar, Atan termangu sendirian. Wajahnya muram. Sayup-sayup terdengar
Mak Joyah berdendang. Alunan suaranya membelah kelam, mengiringi riak dan
gelombang.
Tiba-tiba
Atan berdiri. Ia berteriak keras, seakan melepas kegalauan hatinya.
“Tiddaaakkk!! Kelak akan saye buktikan pada kalian, saye akan buktikan,”
pekiknya lantang.
Tidak
ada jawaban memang. Hanya desiran angin dan kecipak ombak menjilati tiang-tiang
pelantar. Atan menangis tersedu-sedu. Airmatanya jatuh ke laut yang
bergelombang, siap menghempaskan mimpi-mimpinya.
Puas
melampiaskan kegundahan hatinya, Atan melangkah pulang. Mak Joyah masih asyik
berdendang. Tidak ada yang mempedulikannya. Saat melewati rumah Mak Joyah, Atan
singgah sebentar. Setelah menikmati beberapa lagu, ia pamit dan mencium tangan
perempuan tua itu.
Atan
melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Begitu sampai, Atan langsung merebahkan
badan di sudut dapur, tempat ia biasa tidur. Tidak ada kamar khusus baginya.
Rumah kayu beratap daun itu hanya memiliki satu kamar. Itupun ditempati bertiga
oleh mak, bapak dan Atin, adiknya.
Mata
Atan menerawang memandangi langit-langit dapur yang hanya diterangi pelita,
lampu minyak tanah saja. Belum sempat memejamkan mata, Mak Munah keluar dari
kamar menghampiri Atan. Tangannya menenteng kantong plastik berisi uang yang
diberikan teman-teman Atan tadi sore. “Tan, tadi sore teman-teman engkau
datang. Mereka menitipkan ini,” ujarnya.
Atan
segera duduk dan membuka kantong plastik yang diberikan maknya. Adiknya
menghampiri, ingin tahu isi dalam kantong plastik itu. Setelah kantong plastik
terbuka, keduanya terperanjat. “Masya Allah, duit mak. Mak, Bang Atan dapat
duit banyak,” teriak Atin.
Bapak
Atan yang sedang terbaring di kamar, mendengar anaknya menerima duit pemberian
teman-temannya. Sambil terbatuk-batuk, ia memanggil anak sulungnya itu. “Atan,
Atan sinilah sekejap,” teriak Pak Jali dari dalam kamar.
Atan
langsung menghampiri ke kamar, diikuti Mak Munah dan adiknya, Atin. Bocah itu
duduk di samping tempat tidur sambil memijit-mijit kaki bapaknya.
Semua
terdiam. Pak Jali menatap mata anaknya dengan tajam. Tak lama baru ia
berbicara. “Atan, kite ini memang miskin. Tapi, pantang bagi kite untuk jadi
pengemis. Marwah kite jauh lebih berharga dari duit itu nak,” tegasnya.
Atan
hanya tertunduk, tak berani menatap bapaknya. “Tapi Atan tidak ade meminta
minta pak. Teman teman itu saje yang mau membantu Atan,” kilahnya.
Mak
Munah berusaha menengahi. Ia merasa sayang jika duit sumbangan itu dikembalikan
lagi.
“Iye
pak. Tadi sore teman-teman Atan datang. Mereka meyerahkan duit sumbangan untuk
membantu melunasi uang buku dan uang baju. Saat mereka ke sini Atan juge tak
ade di rumah. Mereka ikhlas membantu Atan kok pak,” ujarnya membela.
Tapi
Bapak Atan tidak percaya begitu saja. “Ah tidak mungkin. Mane ade orang zaman
sekarang yang membantu begitu saje. Mustahil itu. Kalau tidak ade berade, mane
mungkin tempua bersarang rendah. Ya sudah, cepat engkau balekkan duit tu lagi,”
perintahnya kepada anaknya.
Atan
segera mengangguk mengikuti perintah bapaknya. “Iye pak. Besok Atan balekkan
duit tu ke sekolah. Atan nak tidur dulu, mengantuk pak,” tukasnya sambil
berlalu ke luar kamar.
Namun
Mak Munah masih membuntuti Atan hingga ke luar kamar. Sebelum tidur ia ingin
Atan pergi menyondong udang sebentar untuk makan besok pagi. “Eh Tan, engkau
jangan tidur dulu. Engkau pergi la menyondong udang sebentar buat makan kite
besok. Mak tak ade duit lagi nih,” pintanya kepada Atan.
Dengan
enggan, Atan mengambil jaring yang biasa diletakkan di balik dapur. Setelah
berpamitan dan mencium tangan maknya, Atan melangkah ke luar. Sesampainya di
depan rumah, Atin berteriak dari balik pintu. “Bang Atan, hati-hati ye. Jangan
lupe baca bismillah. Semoge Abang dapat udang yang banyak,” ujarnya polos.
Atan
langsung berbalik dan menghampiri adiknya. “Oh ya, Abang lupe, terime kasih ye.
Abang pergi dulu. Atin sekarang tidur ye. Assalamualaikum,” pamit Atan kepada
adiknya.
Setelah
Atan pergi, Mak Munah dan suaminya bercakap-cakap di dalam kamar. Bapak Atan
terbatuk-batuk. Nafasnya semakin sesak. Mak Munah mulai khawatir melihat
kondisi Pak Jali yang semakin parah.
“Itulah
pak. Semestinya bapak tak usah ke laut dulu. Nanti sakit bapak semakin parah,”
nasihat Mak Munah kepada suaminya.
Bapak
Atan kembali terbatuk-batuk. Ia merintih menahan sakit di dadanya. “Ye mak.
Untuk sementara biarlah Atan yang ke laut. Tak usah la budak tu ke sekolah,”
rintihnya.
Mak
Munah hanya menghela nafas panjang sambil mengurut dada suaminya. Ia tidak
dapat mencegah, karena keinginan Atan untuk bersekolah sangat besar.
“Pak,
saye sudah larang budak tu ke sekolah. Tapi Atan tu degil, tak dapat dilarang.
Tadi siang ia pergi juge sekolah. Entah ape la yang dicarinya di sekolah tu,”
keluh perempuan itu.
Sementara
itu, di saat orang-orang terlelap di peraduan, Atan bertungkus lumus di antara
riak dan gelombang. Dalam remang malam, bocah itu menggigil. Tubuhnya berendam
sebatas dada, menyisir bibir pantai.
Menjelang
dinihari, Atan melangkah pulang. Sambil terkantuk-kantuk, bocah itu menenteng
sekeranjang udang. Ingin segera ia merebahkan badannya. Tak sabar ia mengetuk
pintu rumahnya.
Namun
Mak Munah terlebih dahulu membukakan pintu. Rupanya ia sudah menunggu
kedatangan Atan. Buru-buru ia bertanya. “Macam mane Tan. Banyak engkau dapat
udang? ujarnya sembari meraih keranjang udang dari tangan Atan.
Melihat
keranjang Atan penuh dengan udang, Wajah Mak Munah sedikit ceria. “Amboi,
udangnye cukup tujuh kilo ni Tan. Besok pagi Mak antar ke toke Aleng ye. Lumayan
duitnye buat berobat bapak engkau,” ungkapnya. Karena mengantuk, Atan tak lagi
mempedulikan ucapan Maknya. Ia segera berbaring di sudut dapur. Wajahnya
terlihat lelah. Mungkin bocah itu tak sempat lagi bermimpi.
0 komentar:
Posting Komentar